
Jakarta, 13 Agustus 2025 — Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas secara terbuka mengakui adanya kelalaian Kementerian Hukum dalam mengawasi pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengakuan itu disampaikan dalam acara Intellectual Property Xpose Indonesia di Jakarta.
"Saya akui bahwa kami Kementerian Hukum itu lalai melakukan pengawasan dan saya tidak malu untuk menyampaikannya. Walaupun saya baru menjabat, sebagai kendali institusi saat ini, saya katakan Kementerian Hukum bertanggung jawab atas kelalaian tersebut," ujar Supratman.
Menurutnya, kelalaian ini telah berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan royalti musik di Indonesia. Ia menyebut LMKN sebagai lembaga bantu pemerintah yang tidak dibiayai APBN dan diisi oleh perwakilan pencipta, musisi, pemegang hak cipta, ahli hukum, serta pemerintah.
Sebagai langkah perbaikan, Supratman menegaskan akan memperketat pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian royalti. Ia menjamin tidak akan menandatangani besaran atau jenis tarif royalti yang tidak diproses secara transparan dan terbuka untuk diuji publik.
“Saya titip pesan, jangan membebani UMKM. Ciptakan sistem yang lebih rasional. Kalau sekarang sistemnya berdasarkan jumlah kursi, mungkin bisa dipikirkan alternatif lain seperti berdasarkan luasan tempat,” tegasnya.
Menkum juga meminta LMK aktif berkomunikasi dengan asosiasi pelaku usaha, seperti perhotelan, pusat perbelanjaan, dan restoran, agar kebijakan tarif benar-benar disepakati bersama. Ia menekankan bahwa royalti berasal dari pelaku usaha, bukan dibebankan kepada pengunjung.
Dalam konteks ini, Kemenkum akan berkoordinasi dengan Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian UMKM, dan pemangku kepentingan lain guna memperbaiki tata kelola, termasuk mekanisme mediasi agar sengketa royalti tidak langsung masuk ke ranah pidana.
Selain pembenahan di dalam negeri, Kemenkum tengah mempersiapkan Protokol Jakarta—sebuah inisiatif yang akan mengatur pengelolaan royalti dari platform digital internasional melalui Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
“Protokol Jakarta ini intinya supaya pungutan royalti terkait platform internasional itu sebaiknya melalui WIPO. Anggotanya 194 negara, jadi kita punya kepentingan bersama,” jelas Supratman.
Konsep ini disebut mirip Protokol Madrid dalam pendaftaran merek internasional, yang memungkinkan pembayaran dilakukan terpusat melalui WIPO tanpa harus ke tiap negara.
Protokol ini sedang digodok bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Pariwisata, Kementerian Kebudayaan, BRIN, hingga pelaku seni. Sebelum diajukan ke Presiden Prabowo Subianto, gagasan ini akan dibahas bersama Kementerian Luar Negeri untuk menjadi agenda politik luar negeri Indonesia.
Supratman menegaskan, langkah ini akan menjadikan Indonesia sebagai inisiator dalam membangun sistem pengelolaan royalti internasional untuk era digital. Rencananya, konsep ini akan dipresentasikan pada Standing Committee on Copyright and Related Rights ke-47 di WIPO, Jenewa, Desember mendatang.



