Tanjungpinang, 25 Februari 2025 - Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum Republik Indonesia menggelar kegiatan sosialisasi terkait kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan pengaduan masyarakat, pengendalian gratifikasi, dan pengaduan pungutan liar. Acara ini diikuti secara daring oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Riau, Edison Manik, Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Hot Mulian Silitonga, Kepala Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual, Bobby Briando, serta jajaran pegawai Kantor Wilayah.
Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum RI, Baroto. Dalam sambutannya, Baroto menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi gerakan bersama dengan membuka ruang pengaduan bagi masyarakat guna mencegah praktik korupsi.
"Dengan membuka ruang-ruang pengaduan, kami berkomitmen untuk memberantas korupsi. Namun, pemberantasan korupsi ini akan lebih maksimal jika kita semua turut membangun budaya anti-korupsi," ujar Baroto.
Sosialisasi ini menghadirkan narasumber dari KPK Amalia Ihwani dan Bagus Irianto. Dalam pemaparannya, narasumber menjelaskan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang termasuk dalam kategori korupsi. Ia memaparkan tiga bentuk utama korupsi, yakni Petty Corruption, Grand Corruption, dan Political Corruption.
"Petty Corruption adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dalam interaksi sehari-hari dengan masyarakat. Grand Corruption adalah penyalahgunaan kekuasaan tingkat tinggi yang menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan banyak pihak. Sedangkan Political Corruption adalah manipulasi kebijakan, institusi, dan aturan prosedur oleh para pengambil keputusan politik," jelas Irianto.
Lebih lanjut, Irianto juga menguraikan perbedaan antara gratifikasi, suap, dan pemerasan. Gratifikasi berkaitan dengan jabatan, bersifat sebagai bentuk tanam budi, serta tidak memerlukan kesepakatan. Sementara itu, suap melibatkan kesepakatan antara pemberi dan penerima, dilakukan secara rahasia, serta bersifat transaksional. Adapun pemerasan terjadi ketika penerima melakukan permintaan secara sepihak dengan cara memaksa serta menyalahgunakan kekuasaannya.