Tanjungpinang – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menyelenggarakan webinar nasional bertema “Dari Tangan Pengrajin untuk Dunia: Indikasi Geografis sebagai Penguat Daya Saing Kerajinan Indonesia” pada Kamis, 31 Juli 2025. Bertempat di Gedung Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kepulauan Riau, webinar ini menjadi platform penting untuk meningkatkan pemahaman dan pemanfaatan Indikasi Geografis (IG) sebagai daya saing global di sektor kerajinan.
Webinar ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemilik IG di sektor kerajinan, pejabat pemerintah, komunitas kreatif, pemerhati budaya, dan akademisi. Kegiatan ini juga menjadi wujud sinergi antara Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Dekranasda setempat.
Selama ini, perhatian terhadap Indikasi Geografis lebih banyak terfokus pada produk pertanian. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan wastra dan kerajinan yang luar biasa. Dari total 198 IG yang terdaftar di DJKI, hanya 35 yang berasal dari sektor kriya dan kerajinan. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan India yang memiliki 654 IG untuk kerajinan, serta Uni Eropa yang telah membuka regulasi IG untuk kerajinan non-pertanian.
Direktur DJKI, Razilu, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam kerajinan sebagai Indikasi Geografis yang belum tergali maksimal. DJKI berkomitmen untuk memperkenalkan produk-produk IG di berbagai ajang nasional dan internasional, serta menekankan pentingnya peran Dekranasda dalam menggali dan mengembangkan potensi IG di daerah.
Reni Yanita, Sekretaris Jenderal Dewan Kerajinan Nasional, memaparkan peran lembaganya dalam membina delapan kelompok bahan baku kerajinan berbasis UNESCO, seperti keramik, serat alam, dan tekstil. Ia juga menyoroti kinerja ekspor kerajinan Indonesia yang tetap tangguh pasca-pandemi, dengan Tiongkok sebagai negara tujuan ekspor terbesar. Tiga kekuatan utama sektor ini adalah branding, packaging, dan desain produk berbasis kekayaan intelektual.
Hermansyah Siregar, Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI, menjelaskan aspek teoretis Indikasi Geografis, mulai dari definisi hingga kriteria. Ia menegaskan bahwa tidak semua produk kerajinan dapat menjadi IG; produk harus memiliki karakteristik unik dan reputasi yang terkait dengan wilayah asalnya. Saat ini, terdapat 18 produk kriya yang sedang dalam tahap pemeriksaan substantif.
Komarudin Kudiya, Ketua Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia (YBI), memaparkan data bahwa dari 193 produk IG, 56 adalah kopi, 28 kerajinan, dan 7 batik. Ia juga menjelaskan alur pendaftaran Indikasi Geografis oleh masyarakat perlindungan IG, tantangan dalam proses pendaftaran, serta pengalamannya secara langsung.
Narasumber terakhir, I Made Megayasa, mempresentasikan Transformasi Kerajinan Tradisional Bali menjadi Identitas Global melalui Indikasi Geografis, dengan fokus pada kerajinan perak Celuk sebagai contoh sukses.
Kegiatan webinar ini terlaksana dengan baik dan lancar, diharapkan dapat mendorong pengrajin Indonesia untuk memanfaatkan Indikasi Geografis sebagai alat penguat daya saing produk mereka di pasar global.